Isbal (memanjangkan pakaian hingga di
bawah kedua mata kaki bagi lelaki) termasuk perbuatan dosa yang
diremehkan oleh sebagian umat. Sementara hadits-hadits tentang larangan
berisbal-ria telah mencapai derajat mutawatir maknawi, lebih dari dua
puluh sahabat meriwayatkannya (lihat risalah Syaikh Bakr Abu Zaid yang
berjudul Hadduts Tsaub hal 18)
Para ulama telah sepakat bahwasanya isbal itu haram jika dilakukan
karena sombong. Akan tetapi mereka berselisih pendapat jika isbal
dilakukan bukan karena sombong. Akan tetapi kita dapati pernyataan para
ulama yang tidak menyatakan haram bagi isbal tanpa kesombongan, mereka
menyatakan bahwa isbal tanpa kesombongan hukumnya makruh (dibenci oleh
Allah). Karenanya bisa kita katakan bahwa para ulama sepakat jika isbal
tanpa kesombongan adalah makruh.
Jika yang kita dapati orang-orang yang berisbal ria adalah
orang-orang awam yang tidak mengetahui maka masih bisa kita maklumi,
akan tetapi yang menyedihkan adalah sebagian para juru dakwah yang
sengaja berisbal ria, bahkan mencibirkan orang yang tidak isbal. Padahal
minimal hukum isbal tanpa kesombongan adalah makruh. Apalagi pendapat
yang lebih kuat bahwasanya hukumnya adalah haram meskipun tanpa
kesomobongan, dan semakin bertambah keharamannya jika disertai dengan
kesombongan.
Diantara dalil yang digunakan untuk menyatakan bahwa isbal –jika
tanpa kesombongan- tidaklah haram akan tetapi hanyalah makruh adalah :
Pertama : Hadits-hadits yang
berbicara tentang pengharaman isbal, selain ada yang bersifat muthlaq,
juga ada yang muqoyyad dengan kesombongan, sehingga hadits yang muthlaq
harus diperjelas dengan hadits yang muqoyyad.
Kedua : Kisah Abu Bakar As-Shiddiq (penjelasan takhrijnya
akan datang) yang melakukannya bukan karena sombong. Di hadapan syariat,
saya dan Abu Bakar sama sederajat. Tindakan yang boleh dilakukan Abu
Bakar, otomatis boleh juga saya kerjakan. Demikian juga rukhshoh yang
dikantongi Abu Bakar juga berhak saya dapatkan.
Sebelum kita membahas sanggahan terhadap dua dalil ini, perlu kita
ketahui bahwasanya diantara sunnah-sunnah Nabi adalah adab berpakaian
yang syar’i. Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam telah memberi
perhatian yang cukup besar tentang tata cara berpakaian karena
penampakan luar menunjukan apa yang ada didalam hati manusia. Oleh
karena itu jika kita memperhatikan model pakaian manusia sekarang maka
kita dapati masing-masing mereka memakai pakaian yang menggambarkan
akhlak mereka. Orang yang suka kekerasan tentunya pakaiannya berbeda
dengan pakaian orang yang menyukai kelembutan, demikian pula orang yang
sombong tentunya gaya berpakaiannya berbeda dengan orang yang tawadlu.
Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam melarang kita
meniru-niru gaya berpakaian Yahudi dan Nasrani demikian juga gaya
berpakaian majusi. Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam juga melarang
meniru gaya berpakaian orang yang sombong. Berisbal ria merupakan gaya
berpakaian orang-orang yang sombong. Bahkan isbal sendiri merupakan
kesombongan. Maka tidaklah sepantasnya kita mengikuti tata cara
berpakaian orang yang sombong.
Sesungguhnya tidak ada orang yang lebih bertakwa dan lebih tawadlu’
serta lebih bersih hatinya dari kesombongan daripada Rasulullah
shallallahu ‘alihi wa sallam. Kita lihat bagaimanakah sifat baju beliau
karena sesungguhnya baju beliau menggambarkan tawadlu beliau.
إزاره إِلَى نِصْفِ سَاقَيْهِ
“(Ujung) sarung Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam hingga tengah kedua betis beliau” (HR At-Thirmidzi di As-Syama’il dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Mukhtashor As-Syamail Al-Muhammadiyah no 97)
Dan hadits Abu Juhaifah:
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ وَعَلَيْهِ حُلَّةً حَمْرَاءَ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى بَرِيْقِ سَاقَيْهِ
Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam memakai baju merah, seakan-akan saya melihat putih kedua betis beliau (HR Al-Bukhori no 633)
Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam memakai baju merah, seakan-akan saya melihat putih kedua betis beliau (HR Al-Bukhori no 633)
Jika Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam ujung baju dan sarung beliau
hingga tengah betis padahal dia adalah orang yang paling bertakwa dan
paling jauh dari kesombongan bahkan beliau tawadlu kepada Allah dengan
memendekkan baju dan sarung beliau hingga tengah betis dan beliau takut
ditimpa kesombongan serta ujub, maka mengapa kita tidak meneladani
beliau??
SANGGAHAN DALIL PERTAMA:
Sebelum pembahasan perlu kiranya mengetahui hadits-hadits seputar masalah isbal baik yang muthlaq maupun yang muqoyyad.
Hadits tentang isbal yang mutlaq
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ :مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَفِي النَّارِ (رواه البخاري )
Dari Abu Hurairah, dari Nabi- beliau bersabda :“Apa saja yang di bawah mata kaki maka di neraka”
Dari Abu Hurairah, dari Nabi- beliau bersabda :“Apa saja yang di bawah mata kaki maka di neraka”
Al-Khattabi menjelaskan, “Maksudnya, bagian kaki yang terkena sarung
yang di bawah dua mata kaki di neraka (bukan sarungnya-pent). Nabi
menggunakan kata pakaian sebagai kinayah (kiasan) untuk (anggota)
badan.” Ta’wil seperti ini jika huruf( مِنْ )dalam hadits adalah
bayaniah. Namun jika (مِنْ) dalam hadits bermakna sababiah maka yang
dimaksud adalah pemakai pakaian yang musbil (Fathul Baari :10/317).
Nafi’, seorang tabi’in, ditanya tentang hal ini, maka beliau menjawab,
“Apa dosa baju? Tapi yang diadzab adalah dua kaki.” (Fathul Baari
:10/317)
Ibnu Hajar berkomentar, “… Tidak masalah untuk mengarahkan hadits ini sesuai dengan makna lahiriahnya (dlohir). Seperti ayat:
إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ
Yang artinya: “Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah menjadi bahan bakar api neraka. ”
(QS. Al-Anbiya: 98). (Dan diantara sesembahan orang musyrik Arab adalah
patung-patung benda mati, namun ikut masuk ke neraka -pen)
Atau ancaman tersebut tertuju pada obyek tempat terjadinya
kemaksiatan (dalam hal ini adalah kain celana yang melewati mata kaki)
sebagai isyarat bahwa pelaku maksiatnya tentu lebih pantas untuk terkena
ancaman tersebut (Fathul Baari :10/317).
Syaikh Utsaimin menerangkan: “Jangan heran kalau adzab hanya
terlokalisir pada anggota tubuh tempat timbulnya maksiat (tidak mencakup
seluruh badan -pen). Karena Rasulullah tatkala melihat para sahabatnya
tidak menyempurnakan wudlu mereka, beliau berteriak lantang: وَيْلٌ
لِّلْأَعْقَابِ مِنَ النَّار (Api neraka bagi tumit-tumit). Di sini,
Rasulullah menempatkan lokasi adzab bagi tumit-tumit yang tidak terbasuh
air wudlu. Maka siksaan bisa mencakup seluruh badan -seperti membakar
seluruh tubuh manusia dan bisa hanya mengenai anggota tubuh tempat
terjadinya mukholafah (pelanggaran) tersebut. Hal ini bukan perkara aneh
(Syarah Riyadus Solihin: 2/523).
Hadits tentang isbal karena kesombongan
Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam telah bersabda :
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang menjulurkan pakaiannya karena sombong maka Allah tidak akan memandangnya pada hari Kiamat”. (HR. Bukhari 5788 dari hadits Abu Hurairah dan Muslim 5424 dari hadits Ibnu Umar)
“Barang siapa yang menjulurkan pakaiannya karena sombong maka Allah tidak akan memandangnya pada hari Kiamat”. (HR. Bukhari 5788 dari hadits Abu Hurairah dan Muslim 5424 dari hadits Ibnu Umar)
عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ النَّبِيِّ قَالَ :” ثَلَاثَةٌ لا يُكَلِّمُهُمُ
اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلا يُزَكِّيْهِمْ
وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلٍيْمٌ”,قَالَ :فَقَرَأَهَا رَسُوْلُ اللهِ ثَلاثَ
مِرَارٍ .قَالَ أَبُوْ ذَرٍّ :”خَابُوا وَ خَسِرُوْا. مَنْ هُمْ يَا
رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ :”المُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنْفِقُ
سِلْعَتَهُ بِالْحَلْفِ الْكَاذِبِ”
Dari Abu Dzar dari Nabi, beliau bersabda :”Tiga golongan yang tidak
akan diajak komunikasi oleh Allah pada hari Kiamat dan tidak dilihat dan
tidak (juga) disucikan dan bagi mereka adzab yang pedih. ” Abu Dzar
menceritakan, “Rasulullah mengulanginya sampai tiga kali. “, “Sungguh
merugi mereka, siapakah mereka wahai Rasulullah ?” tanya Abu Dzar. Nabi
menjawab: “Orang yang isbal, orang yang mengungkit-ngungkit sedekahnya dan penjual yang bersumpah palsu.” (HR Muslim I/102 no 106)
Walaupun kalimat musbil mutlaq dalam hadits ini, namun para ulama
sepakat maknanya membidik isbal yang dikuti perasaan sombong. Alasannya,
adanya kesamaan hukum (tidak dilihat oleh Allah pada hari kiamat)
sebagaimana ditunjukkan kandungan hadits Ibnu Umar yang lalu.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: “بَيْنََا رَجُلٌ
يَجُرُّ إِزَارَهُ إِذْ خُسِفَ بِهِ, فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِي الأَرْضِ
إِلَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam
bersabda: “Tatkala seorang laki-laki sedang mengisbal sarungnya,
tiba-tiba bumi terbelah bersamanya., Maka diapun berguncang-guncang,
tenggelam di dalam bumi hingga hari Kiamat” (HR. Bukhari no: 5790)
Hukum membawa mutlaq ke muqoyyad
Ada empat kondisi ihwal mutlaq dan muqoyyad yang saling berhadapan:
1. Masing-masing hukum dan sebabnya sama.
2. Hukum keduanya sama namun sebabnya berbeda
3. Sebab keduanya sama namun hukumnya berbeda
4. Masing-masing memiliki hukum dan sebab yang berbeda.
Keadaan pertama:
Jika hukum dan sebabnya sama maka mutlaq harus dibawa ke muqoyyad berbeda dengan pendapat Abu Hanifah. Contohnya firman Allah:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَ الدَّمُ
Artinya: Diharamkan atas kalian (memakan) bangkai dan darah (Al-Maidah :3) (mutlaq)
Dengan ayat :
أَوْ دَمًا مَسْفُوْحًا
Artinya: …atau darah yang mengalir (Al-An’am : 145) (muqoyyad)
Maka darah yang dimaksud dalam surat Al-Maidah ayat 3 tersebut adalah
darah yang mengalir karena ditaqyid dengan surat Al-An’am ayat 145.
Keadaan kedua:
Jika hukumnya sama namun sebabnya berbeda seperti firman Allah tentang kaffaroh (denda) membunuh:
رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
Artinya: …hamba sahaya yang beriman (An-Nisa 92) dengan firman Allah tentang kafarah sumpah dan dzihar
رَقَبَة
Artinya:…hamba sahaya (Al-Maidah: 89, Al-Mujadalah: 3) tanpa ditaqyid dengan unsur keimanan hamba sahaya.
Dalam hal ini, Malikiah dan sebagian Syafi’iah berpendapat mutlaq
dibawa ke muqoyyad sehingga disyaratkan keimanan pada budak untuk
kaffaroh sumpah dan dzihar. Adapun mayoritas Hanafiah dan sebagian
Syafi’iah dan satu riwayat dari Imam Ahmad memilih bahwa mutlaq tidak
perlu diangkat pada nash muqoyyad.
Keadaan ketiga:
Adapun jika hukumnya berbeda dan sebabnya sama maka sebagian ulama
berpendapat mutlaq tidak dibawa ke muqoyyad (ini juga merupakan pendapat
Ibnu Qudamah). Ulama yang lain berpendapat bahwa mutlaq dibawa ke
muqoyyad. Contohnya puasa dan membebaskan budak karena dzihar, keduanya
ditaqyid dengan firman Allah:
مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا
Artinya: …sebelum kedua suami istri itu bercampur..( Al-Mujadalah :3)
Adapun memberi makan orang miskin mutlaq tanpa taqyid (pengarahan
tertentu), maka harus ditaqyid juga dengan (..sebelum kedua suami istri
itu bercampur..).
Keadaan keempat:
Jika sebab dan hukumnya berbeda maka para ulama telah sepakat bahwa
mutlaq tidak dimasukkan ke dalam nash muqoyyad (Syaikh Muhammad Amin
Asy-Syinqithi, Mudzakkiroh Usul Fiqh hal 411-412).
Berkaitan dengan perkara isbal, ternyata nash mutlaq dan nash
muqoyyad menyinggungnya. Namun nash mutlaq tidak diikat nash muqoyyad.
Sebab nash-nash yang ada termasuk kategori keadaan yang ke empat. Tidak
ada khilaf dikalangan para ulama bahwa pada keadaan yang keempat (sebab
dan hukumnya berbeda) mutlaq tidak boleh dibawa ke muqoyyad.
Penjelasan Syaikh Utsaimin
Syaikh Utsaimin menjelaskan : “Mengisbalkan pakaian ada dua bentuk :
Bentuk yang pertama: Menjulurkan pakaian hingga ke tanah dan
menyeret-nyeretnya. Bentuk yang kedua: Menurunkan pakaian hingga dibawah
mata kaki tanpa berakar pada kesombongan.
Jenis yang pertama adalah orang yang pakaiannya
isbal hingga sampai ke tanah disertai kesombongan. Nabi shallallahu
‘alihi wa sallam telah menyebutkan, pelakunya menghadapi empat hukuman :
Allah tidak berbicara dengannya pada hari Kiamat, tidak melihatnya
(yaitu pandangan rahmat), tidak menyucikannya serta mendapat adzab yang
pedih. Inilah empat balasan bagi orang yang menjulurkan pakaiannya
karena sombong…
Sedangkan pelaku isbal tanpa disertai kesombongan maka hukumannya lebih ringan . Dalam hadits Abu Hurairah, Nabi berkata: (Apa yang dibawah mata kaki maka di neraka). Nabi tidak menyebutkan kecuali satu hukuman saja.
Juga hukuman ini tidak mencakup seluruh badan, tetapi hanya khusus
tempat isbal tersebut (yang di bawah mata kaki). Jika seseorang
menurunkan pakaiannya hingga di bawah mata kaki maka dia akan dihukum
(bagian kakinya) dengan api neraka sesuai dengan ukuran pakaian yang
turun dibawah mata kaki tersebut, tidak merata pada seluruh tubuh
(Syarah Riyadhus Sholihin 2/522-523, Syaikh Utsaimin).
Hukum orang yang mengisbalkan bajunya karena sombong adalah: Allah
tidak akan melihatnya pada hari Kiamat, tidak berbicara dengannya, tidak
menyucikannya, serta mendapat adzab yang pedih. Adapun orang yang
menurunkan pakaiannya dibawah mata kaki maka hukumnya “di neraka” saja,
dan ini adalah hukum juz’i (lokal) yang khusus (hanya menyangkut bagian
tubuh yang pakaiannya melewati mata kaki saja-pent). Maka kalau kita
geser mutlaq ke muqoyyad berkonsekuensi salah satu hadits mendustakan
hadits yang lainnya.
Perhatikanlah titik penting ini. Jika hukum
berbeda, lalu mutlaq dibawa ke muqoyyad (seperti permasalahan isbal)
maka berdampak pada pendustaan salah satu hukum terhadap hukum lainnya.
Karena jika engkau jadikan (Apa yang di bawah mata kaki di neraka)
hukumnya seperti orang yang isbal karena sombong,….hukumnya jadinya
apa?? Sanksinya bukan hukum khusus tetapi hukumannya (hukum yang
pertama) naik menjadi lebih berat (berubah menjadi hukum yang kedua,
dengan empat ancaman, sebagaimana telah lalu). Dan ini berarti hukum
yang ada di hadits yang pertama adalah dusta.
Jenis aktifitasnya juga berbeda. Yang pertama menurunkan pakaiannya
hingga dibawah mata kaki dan tidak sampai ke tanah tetapi dibawah mata
kaki adapun yang kedua kerena dia menyeret-nyeret pakaiannya” (Syarah
Usul min ilmil usul hal 335-336)
Dengan demikian maka kita mengetahui lemahnya pendapat Imam Nawawi tentang
haramnya isbal karena sombong dan makruhnya isbal jika tanpa disertai
takabur . Yang benar hukumnya adalah haram, sama saja karena sombong
atau tidak. Bahkan faktanya, isbal ada adzab yang khusus, diancam dengan
neraka kalau tanpa sombong, dan jika karena sombong maka diancam dengan
empat hukuman. (Syarh Riyadlus Saalihin 2/523)
Hadits-hadits yang menunjukkan tidak dibawanya mutlaq ke muqoyyad
Hadits yang pertama
Adanya hadits-hadits tentang larangan isbal secara mutlaq. Diantaranya:
Dari Al-Mugiroh bin Syu’bah berkata, ” Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam berkata:
يَا سُفْيَانُ بنِ سَهْلٍ لا تُسْبِلْ فَإِنَّ اللهَ لا يُحِبُّ الْمُسْبِلِيْنَ
“Wahai Sufyan bin Sahl, Janganlah engkau isbal!. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang isbal.” (HR Ibnu Majah II/1183 no 3574
dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 4004)
Dan hadits Hudzaifah, berkata, “Rasulullah memegangi betisnya dan
berkata: “Ini adalah tempat sarung (pakaian bawah), jika engkau enggan
maka turunkanlah,
فَإِنْ أَبَيْتَ فَلا حَقَّ لِلإِزَارِ فِي الْكَعْبَيْنِ dan jika enggau enggan maka tidak ada haq bagi sarung di kedua mata kaki.”(
HR At-Thirmidzi III/247 no 1783, Ibnu Majah II/1182 no 3572, dan
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah V/481 no 2366).
Berdasarkan tekstual (dlohir) hadits ini, izar (pakaian bawah) tidak
boleh diletakkan di mata kaki secara mutlaq, baik karena sombong atau
tidak. (lihat As-Shahihah 6/409)
Berkata Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam ,
نِعْمَ الَّجُلُ خَرِيْم الأَسَدِي لَوْلا طُوْلُ جُمَّتِهِ وَإِسْبَالُ إِزَارِه
“Sebaik-baik orang adalah Khorim Al-Asadi, kalau bukan karena
panjangnya jummahnya dan sarungnya yang isbal.” (Berkata Syaikh Walid
bin Muhammad, “Hadits hasan lighairihi, diriwayatkan
oleh Ahmad (4/321,322,345) dari hadits Khorim bin Fatik Al-Asadi. Dan
pada isnadnya ada perowi yang bernama Abu Ishaq, yaitu As-Sabi’i dan dia
adalah seorang mudallis, dan telah meriwayatkan hadits ini dengan
‘an’anah. Namun hadits ini ada syahidnya (penguatnya) yaitu dari hadits
Sahl bin Al-Handzoliah yang diriwayatkan oleh Ahmad (4/179,180) dan Abu
Dawud (4/348) dan pada sanadnya ada perowi yang bernama Qois bin Bisyr
bin Qois At-Thaglabi, dan tidak meriwayatkan dari Qois kecuali Hisyam
bin Sa’d Al-Madani. Berkata Abu Hatim: Menurut saya haditsnya tidak
mengapa. Dan Ibnu Hibban menyebutnya di Ats-Tsiqoot. Berkata Ibnu Hajar
tentang Hisyam: “Maqbul” –yaitu diterima haditsnya jika dikuatkan oleh
riwayat yang lain dari jalan selai dia, dan jika tidak ada riwayat yang
lain (mutaba’ah) maka haditsnya layyin-. Dengan demikian derajat hadits
ini adalah hasan lighoirihi, alhamdulillah. Dan hadits ini telah
dihasankan oleh Imam An-Nawawi dalam Riadhus Sholihin”, lihat Al-Isbal,
hal 13)
Hadits yang kedua
عَنْ عَمْرٍو بْنِ الشَّرِيْدِ قَالَ: أَبْعَدَ رَسُوْلُ اللهِ رَجُلاً
يَجُرُّ إِزَارَهُ فَأَسْرَعَ إِلَيْهِ, أَوْ هَرْوَلَ فَقَالَ: “اِرْفَعْ
إِزَارَكَ وَاتَّقِ اللهَ!” قَالَ:”إِنيِّ أَحْنَفَ تَصْطَلِكُ
رُكْبَتَايَ, فَقَالَ: “اِرْفَعْ إِزَارَكَ فَإِنَّ كُلَّ خَلْقِ اللهِ
حَسَنٌ”. فَمَا رُئِيَ ذَلِكَ الرَّجُلُ بَعْدُ إِلاَّ إِزَارُهُ يُصِيْبُ
أَنْصَافَ سَاقَيْهِ أَوْ إِلَى أَنْصَافَ سَاقَيْهِ
Dari ‘Amr bin Syarid, berkata, “Rasulullah melihat dari jauh
seseorang yang menyeret sarungnya (di tanah) maka Nabi pun bersegera
segera atau berlari kecil untuk menghampirinya. Lalu beliau berkata,
“Angkatlah sarungmu dan bertakwalah kepada Allah!” Maka orang tersebut
memberitahu, “Kaki saya cacat (kaki x-pen), kedua lututku saling
menempel.” Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam tetap memerintahkan,
“Angkatlah sarungmu. Sesungguhnya seluruh ciptaan Allah indah.” (Setelah
itu) orang tersebut tidak pernah terlihat lagi kecuali sarungnya
sebatas pertengahan kedua betisnya.” (HR. Ahmad IV/390 no 19490, 19493
dan At-Thobrooni di Al-Mu’jam Al-Kabiir VII/315 no 7238, VII/316 no
7241. Berkata Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawa’id V/124, “Dan para
perawi Ahmad adalah para perawi As-Shahih”. Lihat Silsilah As-Shahihah
no:1441)
Hadits ini dengan kasat mata menegaskan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alihi wa sallam tetap memerintahkan orang ini meski isbal bukan timbul
dari rasa congkak, tetapi hanya bertujuan untuk menutupi kekurangannya
(cacat). Bahkan Rasulullah tidak memberinya maaf. Bagaimana
dengan kaki kita yang tidak cacat…? tentunya kita malu dengan sahabat
orang tersebut yang rela terlihat cacatnya demi melaksanakan sunnah Nabi
shallallahu ‘alihi wa sallam.
Hadits yang ketiga
Hadits yang memadukan kedua bentuk isbal dalam satu redaksi :
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِي قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ :”إِزَارُ
الْمُسْلِمِ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ, وَلا حَرَج – أَوْ وَلا جُنَاح –
فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ, فَمَا كَانَ أَسْفَلَ مِنَ
الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ, مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ
يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ
Dari Abu Said Al-Khudri berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alihi
wa sallam bersabda: Sarung seorang muslim hingga tengah betis dan tidak
mengapa jika di antara tengah betis hingga mata kaki. Segala (kain) yang
di bawah mata kaki maka (tempatnya) di neraka. Barang siapa yang
menyeret sarungnya (di tanah-pent) karena sombong maka Allah tidak
melihatnya.” (HR. Abu Daud no: 4093, Malik no: 1699, Ibnu Majah no:
3640. Hadits ini dishahihkan oleh Imam Nawawi dalam Riyadus Shalihin,
Syaikh Albani dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth)
Syaikh Utsaimin menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam
menyebutkan dua bentuk amal tersebut (isbal secara mutlaq dan isbal
karena kesombongan-pen) dalam satu hadits, dan memerinci perbedaan hukum
keduanya karena adzab keduanya berlainan. Artinya, kedua amal tersebut
ragamnya berbeda sehingga berlainan juga pandangan hukum dan sanksinya.
(As’ilah Muhimmah hal:30, sebagaimana dinukil dalam Al-Isbal hal:
26)> Hadits ini juga mendukung tidak perlunya membawakan nash yang
mutlaq pada nash yang muqoyyad.
Hadits yang keempat
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ :قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : “: مَنْ جَرَّ
ثَوْبَهُ خُيَلاءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ”,
فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ :”فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ
بِذُيُوْلِهِنَّ ؟” قَالَ :”يُرْخِيْنَ شِبْرا”, فَقَالَتْ :”إِذاًَ
تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ”, قَالَ :”فَيُرْخِيْنَهُ ذِرَاعًا لا يَزِدْنَ
عَلَيْهِ”
Dari Ibnu Umar, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersada: Barang siapa menjulurkan pakaiannya (di tanah) Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” Ummu Salamah bertanya, “Apa yang harus dilakukan para wanita dengan ujung-ujung baju mereka?” Rasulullah menjawab, “Mereka menurunkannya (di bawah mata kaki) hingga sejengkal.” Kalau begitu akan tersingkap kaki-kaki mereka”, jelas Ummu Slamah. Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam berkata (lagi):, “Mereka turunkan hingga sehasta dan jangan melebihi kadar tersebut”.(HR
At-Thirmidzi IV/223 no 1731 dan berkata, “Ini adalah hadits hasan
shahih”, An-Nasa’i VIII/209 no 5337 dan dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani)
Ibnu Hajar mengkritik pandangan Imam Nawawi, isbal hanya haram saat
bergandengan dengan kesombongan, dengan berkata: “…Kalau memang
demikian, untuk apa Ummu Salamah istifsar (bertanya) berulang kali
kepada Nabi tentang hukum para wanita yang menjulurkan ujung-ujung baju
mereka?. Salah seorang Ummahatul Mukminin ini memahami bahwa isbal
dilarang secara mutlaq baik karena sombong atau tidak, maka beliau pun
menanyakan tentang hukum kaum wanita yang isbal lantaran mereka harus
melakukannya untuk menutupi aurat mereka, sebab seluruh kaki perempuan
adalah aurat. Maka Nabi pun menjelaskan, bahwa para wanita berbeda dari
kaum laki-laki dalam hukum larangan isbal…” (Fathul Baari 10/319).
Syaikh Al-Albani memaparkan : “Nabi tidak mengizinkan para wanita
untuk isbal lebih dari sehasta karena tidak ada manfaat di dalamnya
(karena dengan isbal sehasta kaki-kaki mereka sudah tersembunyi -pen),
maka para lelaki lebih pantas dilarang untuk menambah (panjang celana
mereka, karena tidak ada faedahnya sama sekali)” (Ash-Shahihah VI/409)
Berkata Ibnu Hajar (Fathul Bari 10/319): Hadits Ummu Salamah ada
syahidnya dari hadits Ibnu Umar diriwayatkan oleh Abu Dawud melalui
jalan Abu As-Siddiq dari Ibnu Umar, beliau berkata: رَخَّصَ رَسُوْلُ
اللهِ لأُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ شِبْرًا ثُمَّ اسْتَزَدْنَهُ
فَزَادَهُنَّ شِبْرًا Rasulullah memberi rukhsoh (keringanan)
bagi para Ummahatul mu’minin (istri-istri beliau) (untuk menurunkan
ujung baju mereka) sepanjang satu jengkal, kemudian mereka meminta
tambah lagi, maka Rasulullah mengizinkan mereka untuk menambah satu
jengkal lagi (HR Abu Dawud no 4119, dishohihkan oleh
Syaikh Al-Albani. Lihat juga As-Shahihah no 460). Perkataan Ibnu Umar
“Rasulullah memberi rukhsoh” menunjukan bahwa hukum isbal pada asalnya
haram, atau hukum menaikkan pakaian diatas mata kaki hukumnya adalah
wajib. Karena kalimat “rukshoh” (keringanan/dispensasi) biasanya
digunakan untuk menjatuhkan hal-hal yang asalnya adalah wajib (atau
untuk melakukan hal-hal yang asalnya terlarang) karena suatu sikon.
Hadits yang kelima :
وَلا تَحْقِرَنَّ شَيْئًا مِنَ الْمَعْرُوْفِ وَ أَنْ تُكَلِّمَ أَخَاكَ
وَ أَنْتَ مُنْبَسِطٌ إِلَيْهِ وَجْهُكَ, إِنَّ ذَلِكَ مِنَ الْمَعْرُوْفِ
وَارْفَعْ إِزَارَكَ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ, فَإِنْ أَبَيْتَ فَإِلَى
الْكَعْبَيْنِ, وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنَ
الْمَخِيْلَةِ وَ إِنَّ اللهَ لا يُحِبُّ الْمَخِيْلَةَ
“Dan janganlah engkau meremehkan kebaikan sekecil apapun. Engkau
berbicara dengan saudaramu sambil bermuka manis juga merupakan kebaikan.
Angkatlah sarungmu hingga tengah betis! jika engkau enggan maka hingga
dua mata kaki. Waspadalah engkau dari isbal karena sesungguhnya hal itu (isbal) termasuk kesombongan. Dan Allah tidak menyukai kesombongan.” (HR.
Ahmad (V/64) no 20655, Abu Dawud (IV/56) no 4084, dan dari jalannya
Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro (X/236) no 20882, Ibnu Abi Syaibah
(V/166) no 24822, Abdurrozaq dalam mushonnafnya (XI/82) no 19982,
At-Thobroni dalam Al-Mu’jam Al-Kabiir (VII/63) no 6384 dan dishahihkan
oleh Syaikh Al-Albani).
Ibnul ‘Arabi menggariskan, “Seseorang tidak boleh menjulurkan
pakaiannya melewati mata kakinya kemudian berkilah : “Saya tidak
menjulurkannya karena kesombongan”. Karena larangan (dalam hadits) telah
mencakup dirinya. Seseorang yang secara hukum terjerat dalam larangan,
tidak boleh berkata (membela diri), saya tidak mengerjakannya karena
‘illah (sebab) larangan pada hadits (yaitu kesombongan) tidak muncul
pada diri saya. Hal seperti ini adalah klaim (pengakuan) yang tidak bisa
diterima, sebab tatkala dia memanjangkan ujung pakaiannya sejatinya
orang tadi menunjukan karakter kesombongannya.”
Usai menukil ungkapan Ibnu ‘Arabi di atas, Ibnu Hajar menetapkan :
“Kesimpulannya, isbal berkonsekuensi (melazimkan) pemanjangan pakaian.
Memanjangkan pakaian berarti (unjuk) kesombongan walaupun orang yang
memakai pakaian tersebut tidak berniat sombong.” ( Fathul Baari 10/325)
Walhasil, isbal yang bebas dari niat untuk sombong adalah kesombongan
juga. Dan jika berkombinasi dengan selipan sombong maka menjadi sombong kuadrat.
SANGGAHAN DALIL KEDUA
Kisah Abu Bakar As-Shidiq kadang-kadang menjadi acuan alternatif
sebagian orang untuk melegalisasikan isbal yang dilakukannya. Berikut
ini redaksinya:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ قَالَ : مَنْ
جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ, قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ : يَا رَسُوْلَ اللهِ, إِنَّ أَحَدَ
شِقَّيْ إِزَارِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ.
فَقَالَ النَّبِيُّ : لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ
Dari Ibnu Umar, dari Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam, beliau
bersabda, ” Barang siapa yang menyeret pakaiannya (di tanah) karena
sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari Kiamat.”, Abu Bakar
mengeluh “Wahai Rasulullah, sesungguhnya salah satu sisi sarung (pakaian
bawah)ku (melorot) turun (melebihi batas mata kaki) kecuali kalau aku
(senantiasa) menjaga sarungku dari isbal”. Nabi shallallahu ‘alihi wa
sallam mengatakan :”Engkau bukan termasuk yang melakukannya karena
sombong.” (HR Al-Bukhari no 5784)
Dengan berbekal tekstual tanya-jawab di atas, tersimpul ungkapan
demikian:”Saya isbal bukan lantaran sikap sombong persis seperti
pengakuan kepada Rasullah shallallahu ‘alihi wa sallam, tanpa ada unsur
takabur. Saya dan Abu Bakar memiliki kedudukan sama di depan hukum
Allah, apa yang boleh bagi Abu Bakar maka boleh juga bagi saya. Kalau
Abu Bakar boleh untuk isbal tanpa sombong maka saya pun juga boleh
melakukannya.”
Maka jawabannya :
Ibnu Hajar menjelaskan :”Sebab isbalnya sarung Abu Bakar adalah karena tubuhnya yang kurus”. (Fathul Baari 10/314)
Ibnu Hajar menambah, “Pada riwayat Ma’mar yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (redaksinya):
إِنَّ إِزَارِي يَسْتَرْخِي أَحْيَانًا
Sesungguhnya sarungku terkadang turun .” (Fathul Baari 10/314)
Abu Bakar adalah orang yang kurus, jika beliau bergerak, berjalan
atau melakukan gerakan yang lainnya, pakaian bawahnya (izar), melorot
turun tanpa disengaja. Namun jika beliau menjaga (memperhatikan)
sarungnya maka tidak menjadi turun.
Hadits ini menunjukan bahwa secara mutlak, tidak masalah, sarung yang terjulur di bawah mata kaki kalau tanpa sengaja (Fathul
Baari 10/314), sebagaimana Rasulullah pernah mengisbal sarung beliau
tatkala tergesa-gesa untuk shlolat gerhana matahari. Abu Bakroh
menceritakan:
خَسَفَتِ الشَّمْسُ وَنَحْنُ عِنْدَ النَّبِيِّ, فَقَامَ يَجُرُّ ثَوْبَهُ مُسْتَعْجِلاً حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ
“Terjadi gerhana matahari dan kami sedang berada di sisi Nabi, maka Nabi pun berdiri dalam keadaan mengisbal sarung beliau karena tergea-gesa, sampai memasuki masjid.” (HR Al-Bukhari no 5785)
Ibnu Hajar berkesimpulan, “Pada hadits ini (terdapat dalil) bahwa
isbal (yang muncul) dengan alasan ketergesaan tidak termasuk dalam
larangan” (Al-Fath 10/315)
Ada beberapa point untuk mencounter orang yang bepegang erat dengan hadits Abu Bakar:
1. Sangat tepat bahwa anda dan Abu Bakar sama kedudukannya di mata
hukum, apa yang menjadi dispensasi bagi Abu Bakar juga berlaku bagi
saudara. Akan tetapi, apakah isi kalbu anda sama persis dengan yang
terdapat dalam hati Abu Bakar??!!.
2. Abu Bakar kita pastikan tidak sombong karena ada nash sharih dan
persaksian dari Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bahwasanya Ash-Shiddiq
tidak sombong. Kalau saudara bisa menghadirkan persaksian Nabi bahwa
saudara bebas dari kecongkakan saat berisbal-ria, maka kami sami’na wa
atha’na. Bahkan Syaikh Utsaimin sendiri menantang: “Jika kami
mengingkarimu maka silahkan kau potong lidah kami”. Namun ini mustahil,
bagaimana mungkin anda membawakan mendatangkan persaksian Rasulullah.
(Syarh Al-Ushul min ‘ilmil ushul 335)
3. Isbal yang terjadi pada Abu Bakar bukan karena faktor
kesengajaan. Beliau bahkan menghindarinya, namun karena beliau orang
yang tidak berbadan gemuk, akibatnya pakaian bawah beliau melorot turun
di bawah mata kaki. Adapun anda, sengaja melakukannya, bahkan kepada
penjahit, anda menginsruksikan “panjangkan celanaku (sekian),”,
“turunkan celanaku (sekian)”.
4. Anggaplah argumentasi anda itu benar bahwa isbal tanpa
kesombongan tidak bermasalah, namun secara implisit, jika saudara sedang
isbal berarti saudara sedang memproklamirkan diri bahwa saudara
bukanlah orang yang sombong tatkala sedang berisbal. Padahal Allah
berfirman : فَلا تُزَكُّوْا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى .
Artinya: “Maka Janganlah Kalian mentazkiah diri kalian, Allah lebih tahu siapa yang bertaqwa”
5. Berkaitan dengan kisah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, tidak ada
satu riwayat pun yang menceritakan, usai mendengarkan pernyataan
Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam tersebut di atas, lantas beliau
ia berisbal ria sepanjang hari. Pada prinsipnya, riwayat tersebut
menunjukkan bahwa pakaian bawah beliau tidak melewati mata kaki, akan
tetapi tanpa disengaja turun, sehingga beliau harus menariknya kembali.
Berbeda dengan mereka yang dari awal pakaiannya melebihi mata kaki,
dengan demikian kisah Abu Bakar tidak bisa dijadikan sebagai pegangan.
Sebuah renungan…
Sombong adalah masalah hati. Saat menegur orang yang isbal
sebagaiamana yang dipraktekan oleh Rasulullah shallallahu ‘alihi wa
sallam demikian juga para sahabat, mereka tidak pernah sama sekali
bertaanya sebelum menegur: “Apakah engkau melakukannya karena sombong?
Kalau tidak, no problem. Kalau benar lantaran sombong, angkat celanamu!”
Seandainya isbal tanpa diiringi sombong diijinkan, artinya tatkala
menegur orang yang isbal seakan-akan Rasulullah shallallahu ‘alihi wa
sallam sedang menuduhnya sombong. Demikian juga para sahabat tatkala
menegur orang yang isbal berarti telah menuduhnya sombong. Padahal
kesombongan tempatnya di hati, sesuatu yang sama sekali tidak diketahui
oleh Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam dan para sahabat.
Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda : إِنِّي لَمْ أُوْمَرْ أَنْ أُنَقِّبَ قُلُوْبَ النَّاسِ . Artinya: “Sesungguhnya aku tidak diperintah untuk mengorek isi hati manusia .” (HR :Bukhari no 4351)
Syaikh Bakr Abu Zaid berargumen, “Kalau larangan isbal hanya hanya
bertautan dengan sikap sombong, tidak terlarang secara mutlak, maka
pengingkaran terhadap isbal tidak boleh sama sekali, karena kesombongan
merupakan amalan hati. Padahal telah terbukti pengingkaran (Rasulullah
shallallahu ‘alihi wa sallamdan para sahabat) terhadap orang yang isbal
tanpa mempertimbangkan motivasi pelakunya. (sombong atau tidak).”
(Haduts Tsaub hal 22)
Ibnu Umar bercerita, “Saya melewati Rasulullah dan sarungku isbal,
maka Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam berkomentar: “Wahai
Abdullah, angkat sarungmu!”. Aku pun mengangkatnya. “Angkat lagi!”,kata
beliau lagi. Maka aku pun tambah mengangkatnya. Setelah itu, aku selalu
memperhatikan sarungku (agar tidak isbal)”. Sebagian orang menanyakan:
“Sampai mana (engkau mengangkat sarungmu)?”. Ibnu Umar menjawab: “Hingga
tengah dua betis” (HR: Muslim 5429)
Syaikh Al-Albani berkesimpulan: “Kisah ini merupakan bantahan kepada
para masyaikh (para kyai, pen) yang memanjangkan jubah-jubah mereka
hingga hampir menyentuh tanah dengan dalih mereka melakukannya bukan
karena sombong. Mengapa mereka tidak meninggalkan isbal tersebut demi
mengikuti perintah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam kepada Ibnu Umar
(untuk mengangkat sarungnya) ataukah hati mereka lebih suci dari isi
hati Ibnu Umar?” (As-Shahihah 4/95).
Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam tetap menegur Ibnu Umar,
padahal Ibnu Umar sebuah figur yang jauh dari kesombongan, bahkan beliau
termasuk sahabat yang mulia dan paling bertakwa, namun Rasulullah
shallallahu ‘alihi wa sallam tidak membiarkannya isbal, beliau tetap
memerintahkannya untuk mengangkat sarungnya. Bukankah ini menunjukan
bahwa adab ini (tidak isbal) tidak hanya berlaku pada orang yang berniat
sombong saja ?.
Bahkan Ibnu Umar sangat takut dirinya terjatuh dalam kesombongan karena memakai pakaian yang menunjukan kesombongan
Dari Qoz’ah berkata, “Aku melihat Ibnu Umar memakai pakaian yang
kasar atau tebal, maka aku berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku datang
kepadamu membawa sebuah baju yang halus yang dibuat di Khurosaan dan aku
senang jika aku melihat engkau memakainya.” Ibnu Umar berkata,
“Perlihatkanlah kepadaku”, maka beliaupun memegangnya dan berkata,
“Apakah ini dari kain sutra?”. Aku berkata, “Bukan, ia terbuat dari kain
katun”. Beliau berkata, “Sesungguhnya aku takut untuk memakainya, aku
takut aku menjadi seorang yang sombong lagi membanggakan diri dan Allah
tidak suka semua orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Siyar
A’laam An-Nubalaa’ III/233)
Berkata Adz-Dzahabi mengomentari kisah ini, “Setiap pakaian yang
menimbulkan pada disi seseorang sikap sombong dan membanggakan diri maka
harus ditinggalkan meskipun pakaian tersebut bukan terbuat dari emas
ataupun kain sutra. Karena sesungguhnya kami melihat seorang pemuda yang
memakai jenis pakaian mahal yang harganya empat ratus dirham dan yang
semisalnya, dan sikap sombong dan angkuh nampak sekali dalam cara
jalannya, maka jika engkau menasehatinya dengan kelembutan maka ia akan
menentang dan berkata, “Tidak ada rasa angkuh dan rasa sombong (pada
diriku)”. Padahal Ibnu Umar takut rasa angkuh menimpanya.
Demikian juga engkau melihat seorang ahli fikih yang hidupnya mewah
jika ditegur karena celananya yang molor hingga di bawah dua mata kaki
dan dikatakan kepadanya bahwa Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam telah
bersabda, ((Apa saja dari sarung yang di bawah mata kaki maka di neraka)),
maka ia berkata, “Sesungguhnya ini hanya berlaku pada orang yang
menjulurkan sarungnya karena sombong, dan aku tidaklah melakukannya
karena sombong”, maka engkau lihat dia menentang dan berusaha menyatakan
bahwa dirinya yang bodoh itu terbebas dari sifat sombong, dan ia
pergi ke dalil yang umum (yang tidak menyebutkan kesombongan –pen) lalu
ia khususkan dengan hadits lain yang terpisah yang menyebutkan
kesombongan. Dia juga mencari dispensasi dengan berdalil dengan
perkataan Abu Bakar As-Shiddiiq, “Wahai Rasulullah, sarungku molor
(hingga di bawah mata kaki)”, maka Rasulullah shallallahu ‘alihi wa
sallam berkata, “Engkau tidaklah termasuk orang-orang yang melakukannya
karena sombong”.
Maka kami katakan, “Abu Bakar tidaklah mengencangkan sarungnya di
bawah mata kaki sejak awal, akan tetapi beliau mengencangkan sarungnya
di atas mata kaki kemudian berikutnya sarungnya tersebut molor”…dan
hukum larangan ini juga berlaku pada orang yang memanjangkan celana
panjangnya hingga menutupi mata kaki….” (Siyar A’laam An-Nubalaa’
III/234)
Bukti lain, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam juga menegur Jabir bin
Sulaim, seorang penduduk dari Tsaqif (lihat : As-Shahihah no 1441), dan
‘Amr bin Zuroroh Al-Anshori, merekapun akhirnya mengangkat sarung mereka
hingga tengah betis (Lihat Hadduts Tsaub, hal 22) .
PERINGATAN (1) : Jika ada yang berkata : Ngapain
membahas hukum isbal?, toh ini hanya permasalahan qusyur (kulit) agama,
bukan masalah inti agama !!!
Kita katakan :
Para ulama dalam banyak tulisan-tulisan mereka telah menggandengkan
antara hukum-hukum ibadah dan mu’amalah. Contohnya bisa kita lihat dalam
buku-buku hadits seperti Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, dan yang
lainnya, demikian juga dalam buku-buku fiqh Islam, maka kita akan dapati
kitabul Adab dan kitabul Libaas (pakaian) berkaitan dengan ibadah
seperti sholat dan puasa (Dan masalah isbal selain disebutkan oleh para
ulama dalam bab tersendiri dia juga disebutkan oleh para ulama dalam bab
sholat (yaitu berkaitan dengan pakaian dalam sholat). Hal ini
menunjukan bahwa Islam memperhatikan dengan perkara-perkara ini (yang
kalian anggap sebagai kulit semata) sebagaimana perhatian Islam terhadap
ibadah. Allah telah berfirman,
مَّا فَرَّطْنَا فِي الكِتَابِ مِن شَيْءٍ (الأنعام : 38 )
“Tiadalah Kami lupakan sesuatu apapun di dalam Alkitab .”(QS. 6:38)
Orang-orang musyrik berkata kepada Salman Al-Farisi, “Sesungguhnya
Nabi kalian mengajarkan kepada kalian segala sesuatu hingga adab buang
air”, maka Salman berkata, “Benar, sesungguhnya ia telah melarang kami
buang air besar atau buang air kecil sambil menghadap kiblat, atau kami
beristinja’ (cebok) dengan menggunakan tangan kanan, atau kami
beristinja’ dengan batu kurang dari tiga, atau kami beristinja’ dengan
menggunakan kotoran atau tulang.” (HR Muslim I/223 no 262)
Seandainya isbal itu hanya sekedar perkara kulit agama, apa yang
mendorong Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam dan para shahabat, demikian
juga para ulama meyibukkan diri mereka untuk memperingatkan orang dari
perkara kulit tersebut (baca: isbal)??. Nabi shallallahu ‘alihi wa
sallam sebagaimana telah lalu begitu bersemangat mengingatkan orang yang
isbal. Karena terlalu bersemangatnya hingga beliau sambil berlari-lari
kecil untuk memperingatkan orang tersebut. Demikian juga semangat para
sahabat untuk mengingatkan orang dari isbal.
Muhammad bin Ziad berkata, “Tatkala melihat seseorang menyeret
sarungnya (isbal), Saya mendengar Abu Hurairah meneriaki sambil
menginjak-injakkan kakinya ke tanah, dan ketika itu Abu Hurairah adalah
amir (penguasa) Bahrain: “Amir telah datang, Amir telah datang!
Rasulullah pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada
orang yang mengisbal sarungnya karena sombong.” (HR: Muslim :5430)
Cermatilah, bagaimana semangat Abu Hurairah dalam mengingatkan orang
tersebut padahal Abu Hurairah ketika itu adalah seorang amir, namun
kedudukannya tidak menyibukkan dia untuk tidak bernahi munkar. Dia tidak
memandang isbal adalah perkara sepele sehingga dibiarkan saja mengingat
kedudukannya yang tinggi sebagai penguasa Bahrain, yang tentunya
adatnya seorang penguasa adalah penuh dengan kesibukan dengan
perkara-perkara besar. Kapan kita menggebu-gebu untuk memperingatkan
saudara-saudara kita dari isbal??
Ibnu Abdil Barr berkata, “Termasuk riwayat yang paling mengena
tentang hal ini, apa yang diriwayatkan oleh Sufyan bin Uyaiynah dari
Husain dari ‘Amr bin Maimun berkata: “Tatkala Umar ditikam, manusia
berdatangan menjenguk beliau. Diantara pembezuk, seorang pemuda dari
Quraisy. Ia memberi salam kepada Umar. (Begitu hendak bergegas pergi)
Umar melihat sarung pemuda tersebut dalam keadaan isbal, serta-merta
beliau memanggilnya kembali dan berkata, “Angkat pakaianmu karena hal
itu lebih bersih bagi pakaianmu dan engkau lebih bertaqwa pada Rabbmu.”
(Selengkapnya lihat Bukhari no:3700). ‘Amr bin Maimun berkomentar :”
Kondisi Umar ( yang kritis) tidak menghalanginya untuk menyuruh anak
muda tadi agar mentaati Allah.” (Fathul Malik Bi tabwibi At-Tamhid
9/384)
Berkata Ibnu Umar tatkala melihat sikap ayahnya ini,
عَجَبًا لِعُمَرَ إِنْ رَأَى حَقَّ اللهِ عَلَيْهِ فَلَمْ يَمْنَعْهُ مَا هُوَ فِيْهِ أَنْ تَكَلَّمَ بِهِ
“Umar sungguh menakjubkan, jika ia melihat hak Allah (yang wajib ia
tunaikan) maka tidak akan mencegahnya kondisinya (yang sekarat tersebut)
untuk berbicara (menegur) hak Allah tersebut.” (Mushonnaf Ibni Abi
Syaibah V/166 no 24815)
Apakah kita menuduh Umar di akhir hayatnya dalam keadaan sekarat
dengan perut yang robek hingga cairan yang beliau minum keluar melalui
robekan tersebut, masih sempat-sempat memperhatikan masalah kulit
agama?? Apa tidak ada masalah lain yang lebih signifikan hingga beliau
sibuk-sibuk memperingatkan orang dari isbal padahal kondisinya sudah
kritis??
Derajat hadits-hadits yang melarang isbal telah mencapai derajat
mutawatir maknawi. Selayaknya kaum muslimin memperhatikan hal ini
Sesungguhnya seluruh perkara yang menarik perhatian Nabi shallallahu
‘alihi wa sallam adalah penting, walaupun masyarakat menganggapnya
sepele. Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh meremehkan dosa
apapun. Bukankah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam telah bersabda , “Hati-hatilah terhadap dosa-dosa yang diremehkan.” (HR. Ahmad I/402 no 3818, V/331 no 22860 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 3102)
عن حميد بن هلال قال قال عبادة بن قرط إنكم تأتون أشياء هي أدق في
أعينكم من الشعر كنا نعدها على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم الموبقات
قال فذكروا لمحمد صلى الله عليه وسلم قال فقال صدق أرى جر الإزار منه
Berkata Humaid bin Hilaal, “Ubadah bin Qorth –radhiallahu ‘anhu-
berkata, “Sesungguhnya kalian akan melakukan perkara-perkara yang
menurut kacamata kalian lebih ringan daripada sehelai rambut, namun
menurut kami di zaman Rasulullah termasuk (dosa-dosa besar) yang
membinasakan. Mereka pun menyebutkan perkataan Ubadah bin Qorth ini ke
Muhammad bin Sirin, maka dia berkata, “Ia telah berkata benar dan
menurutku mengisbal sarung termasuk perkara-perkara yang membinasakan
tersebut.” (Atsar riwayat Imam Ahmad dalam musnadnya III/470 no 15897,
V/79 no 20769. Dan perkataan ‘Ubadah bin Qorth ini diucapkan oleh Anas
bin Malik sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam shahihnya
V/2381 no 6127)
Sungguh indah perkataan orang yang berkata, “Kalau bukan karena kulit tentu isi (buah) telah rusak.”
PERINGATAN (2)
Jika ada yang nyeletuk : Haramnya isbal itu hanya pada izar (sarung),
tidak berlaku pada pakaian model lain karena hadits-hadits isbal hanya
menyinggung sarung. Pakaian bawah lainnya, celanan panjang misalnya,
tidak mencakupnya .
Jawabannya :
Ini adalah syubhat yang aneh yang dilontarkan oleh orang-orang yang
ingin lari dari hukum isbal. Hatinya tidak betah jika ia tidak isbal,
wal ‘iyaadzu billah.
Adz-Dzahabi mengomentari hadits isbal: (“Sarung seorang mukmin hingga
tengah betis”): “Hukum ini umum, mencakup sirwal (celana panjang),
tsaub, jubah, …dan pakaian yang lainnya”.
Berkata At-Thobari, “Datangnya kalimat izar (sarung) dalam
hadits-hadits karena sebagian besar orang pada zaman Rasulullah
shallallahu ‘alihi wa sallam memakai sarung dan rida’ (pakaian atas).
Tatkala orang-orang memakai qomis dan jubah maka hukumnya adalah hukum
sarung. Berkata Ibnu Battol, “ini adalah qiyas yang shohih, walaupun
tidak datang nas (dalil khusus) yang menyebutkan tsaub (jubah) maka
sesungguhnya larangan mencakup tsaub…” (Fathul bari 10/323)
Syaikh Bin Baz memaparkan, “Khitob (redaksi satu nash) jika memakai
hukum yang gholib/dominan (خَرَجَ مَخْرَجَ الْغَالِبِ), maka tidak
terpakai mafhumnya…..Hal ini sudah ma’ruf di kalangan para ulama, bahkan
ini merupakan pendapat mayoritas Ahli Usul.”
Hal ini dikarenakan, pada masa Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam,
sarunglah yang paling sering dipakai. Imam Ahmad menambah: “Sarung
adalah pakaian mereka (para sahabat)” (Lihat Fathul Bari, Ibnu Rojab
Al-Hambali 2/175)
Syaikh Abdulmuhsin Al-‘Abbad juga telah menegaskan bahwasanya
kebanyakan hadits menyebutkan sarung (tidak menyabutkan gomis atau
celana panjang-pen), karena sarung mudah untuk terjulur di bawah mata
kaki karena banyak gerak atau berjalan. Berbeda dengan gomis, ia tidak
mudah terjulur. (Lihat Ad-Dalil hal 25)
Ibnu Abdil Barr, “… hanya saja isbal pada qomis atau jenis pakaian yang lain tercela dalam setiap keadaan (isbal juga tercela walaupun tidak sombong -pen).” (Fathul Malik bi tabwibi At-Tamhid 9/384)
Ditambah lagi, ada juga hadits yang umum yang menunjukan bahwa pakaian apa saja melewati batas dua tumit, hukumnya haram.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ :مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَفِي النَّارِ (رواه البخاري )
Dari Abu Hurairah, dari Nabi- bersabda :”Apa saja yang di bawah mata kaki maka di neraka”
Dan مَا mausulah memberi faedah umum, mencakup izar, celana, dan pakaian yang lainnya.
Renungan…
Renungan…
Pendapat untuk membawa nash yang mutlaq ke nash yang muqoyyad (dalam
masalah isbal), pendukungnya menetapkan isbal tanpa kesombongan makruh dan tercela.
Imam Nawawi mengatakan:”…Tidak boleh mengisbal sarung dibawah mata
kaki jika karena kesombongan. Namun jika tidak karena kesombongan maka makruh…“[Minhaj 14/287, 2/298 Kitabul Iman]
Ibnu Abdil Barr berkata : “… hanya saja isbal pada qomis atau jenis pakaian yang lain tercela dalam setiap keadaan (isbal juga tercela walaupun tidak sombong -pen).” [Fathul Malik bi tabwibi At-Tamhid 9/384]
Lantas, mengapa sebagian kita yang telah mengetahui makruhnya isbal
walau tanpa disertai kesombongan masih saja isbal?. Kenapa kita, yang
berperan sebagai penuntut ilmu dan calon da’i sudah membiasakan diri
kita sejak dini untuk melakukan hal yang makruh?. Apa salahnya kita
membiasakan diri dengan sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam
dan menghidupkannya. Bukankah Allah telah berfirman :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةُ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ الْأَخِرَ
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat.” (Al-Ahzab : 21)
Ini adalah sebuah nasehat, barang siapa yang terkena syubhat dalam
masalah isbal kemudian telah jelas baginya hukum isbal yang
sesungguhnya, hendaknya dia segera berhenti dari isbalnya, seperti yang
dilakukan seorang pemuda yang memakai pakaian dari san’a dalam
keadaan isbal, maka Ibnu Umarpun menegurnya, seraya berkata: “Wahai
pemuda, kemarilah!”. Pemuda itu berkata: “Ada perlu apa, wahai Abu
Abdirrohman?”. Ibnu Umar berkata: “Celaka engkau, apakah engkau ingin
Allah melihatmu pada hari Kiamat?”. Dia menjawab: “Maha suci Allah, apa
yang mencegahku hingga tidak menginginkan hal itu?”. Ibnu Umar berkata:
“Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda: “Allah
tidak melihat….”. Maka pemuda tersebut tidak pernah terlihat lagi kecuali dalam keadaan tidak isbal hingga wafat.” (HR Al-Baihaqi dan Ahmad, dishahihkan oleh Syakih Al-Albani di As-Shahihah 6/411)
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com
Daftar Pustaka :
1. Al-Qur’an dan terjemahannya
2. Tafsir Ibnu Katsir, Darul Fikr (Beiruut)
3. Ruuhul Ma’aani, As-Sayyid Mahmuud Al-Aluusi, Dar Ihya At-Turoots (Beiruut)
4. Syarah Al-Ushul min ilml ushul, Syaikh Utsaimin, Dar Al-Bashiroh
5. Al-Minhaj (Syarah Shahih Muslim), Imam Nawawi, Dar Al-Ma’rifah
6. Mudzakkirah Usul Fiqh, Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi, Dar Al-Yaqin
7. Sunan At-Tirmidzi, Maktabah Al-Ma’arif
8. Sunan Abu Dawud, tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdilhamid, terbitan Darul Fikr
9. Muwatta’ Malik
10. Sunan Ibnu Majah
11. Sunan An-Nasa’i
12. Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro, tahqiq Muhammad Abdul Qoodir ‘Ato, Maktabah Darul Baaz
13. Musnad Imam Ahmad, terbitan Maimaniah
14. Al-Mu’jam Al-Kabiir, At-Thobroni, tahqiq Hamdi bin Abdilmajid As-Salafi, cetakan kedua, Maktabah Al-Ulum wal Hikam
15. Musnad Asy-Syamiyiin, At-Thobrooni, tahqiq Hamdi bin Abdilmajid As-Salafi, cetakan pertama, Muassasah Ar-Risaalah
16. Mushonnaf Ibni Abi Syaibah, tahqiq Kamal Yusuf Al-Huut, cetakan pertama Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh
17. At-Targhib wat tarhiib, Al-Mundziri, tahqiq Ibrahim Syamsuddiin, cetakan pertama, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah
18. Riyadhus Shalihin, tahqiq Sayikh Al-Albani, Al-Makatab Al-Islami. Dan tahqiq Syu’aib Al-Arnauth, Muassasah Ar-Risalah
19. Fathul Bari, Ibnu Hajar, Dar As-Salam, cetakan pertama
20. An-Nihayah fi Goribil Hadits, oleh Ibnul Atsir, tahqiq Syaikh Kholil Ma’mun, Dar Al-Ma’rifah
21. Al-Qoul Al-Mubin fi Akhtho’ Al-Mushollin, oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman, dar Ibnul Qoyyim, cetakan ketiga tahun 1995
22. Syarah Riyadus Shalihin, Syaikh Utsaimin, Dar Al-‘Anan
23. At-Tamhiid, Ibnu ‘Abdilbarr, tahqiq Mushthofa bin Ahmad Al-‘Alawi, cetakan Wizaaroh Umumul Awqoof (Magrib)
24. Fathul Malik bi tabwibi At-Tamhid Li Ibni Abdil Bar Ala Muwatto’
Al-imam Malik, Ust DR Mustafa Sumairoh 9/384, Darul Kutub Ilmiah
25. Hadduts Tsaub wal Uzrah wa Tahrim Al-Isbal wa Libas As-Syuhroh, Syaikh Bakr Abu Zaid, Darul ‘Asimah
26. Al-Isbal ligharil khuyala’, Walid bin Muhammad Nabih bin Saif An-Nasr
27. Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah, Syaikh Al-Albani
28. Ad-Dalil Al-Masaq fi itsbati sunnati wadli torfil qomis ila nisfis saq, Abdul Qodir Al-Junaid, Muassasah Ar-Royan
29. Siyar A’lam an-Nubala’, Imam adz-Dzahabi, tahqiq Syu’aib Al-Arnauth dan Muhammad Nu’aim, cetakan ke 9, Muassasah Ar-Risalah
30. Majmu’ Fatawa wa Maqoolaat mutanawwi’ah, Syaikh Abdul Aziz bin
Baaz, tartib wa isyroof DR Muhammad bin Sa’d Asy-Syuwai’ir, terbitan
Riasah idaarotil buhutsil ‘ilmiyah wal iftaa’, cetakan ke 3 tahun 1423 H
31. Majmu’ Fatawa wa Rasaa’il, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Darul Wathon
0 komentar:
Posting Komentar